Senin, 21 Juni 2010

Aneka Tips

Anger Management

Bacaan: Yunus 3:10 - 4:1-11
Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh.- Pengkhotbah 7:9

1.Kembangkan sense humor.
Meski kemarahan selalu berhubungan dengan hal-hal serius, tidak jarang penyebabnya adalah hal-hal sederhana, sepele atau bahkan hal yang sangat lucu. Pada saat itulah kita perlu mengembangkan sense humor sehingga kita bisa mentertawakan keadaan atau mentertawakan diri sendiri.

2. Fokus pada solusi dan bukan pada hal-hal yang mengecewakan.
Apa yang kita lakukan, perasaan apa yang berkecambuk dalam hati kita, atau apapun juga yang kita alami akan tergantung dengan fokus kita. Jika kita fokus pada hal-hal yang mengecewakan seperti perlakuan menyakitkan, pengkhianatan, kecurangan, atau pelecehan yang kita terima, maka kita akan menjadi sangat marah. Namun jika kita fokus pada solusi, maka dengan sendirinya kemarahan itu akan mereda.

3. Mengubah kebiasaan marah kita.
Marah untuk sekali waktu rasanya normal-normal saja, namun jika kemarahan kita terlalu sering atau bahkan tiada hari tanpa marah, tentu ada yang tidak beres dalam diri kita. Biasanya itu sebagai akibat dari kebiasaan saja. Kita terbiasa marah, makanya hal-hal kecil yang sepele pun sudah cukup untuk membuat kita naik pitam. Kalau masalahnya seperti ini, kita perlu mengubah kebiasaan kita.

4. Biarkan Tuhan berdaulat penuh atas hidup kita.
Sepertinya cara ketujuh ini terlihat klise, namun sebenarnya cara ini justru memiliki hasil yang sangat efektif dalam mengelola kemarahan. Pada saat mengijinkan Tuhan memimpin hidup kita, bukan berarti kita menjadi manusia yang tidak bisa marah. Kita bisa marah, namun kemarahan kita akan sangat terkendali. Mintalah pimpinan dan penyertaan Tuhan senantiasa, sehingga hidup kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain gara-gara kemarahan kita.

Kemarahan lebih banyak ditentukan oleh diri Anda sendiri

Pengakuan

Bacaan: I Yohanes 1:5-10

Jika kita mengaku dosa kita,... sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita.- I Yohanes 1:9



“Aku salah”. Ini adalah kalimat yang paling jarang terucap dari mulut kita, sekaligus sangat sulit untuk dieja dan diucapkan. Tak ada yang salah dengan kata
itu, tapi jika kita ingin mengucapkannya, tiba-tiba saja lidah kita jadi kelu dan tenggorokan kita pun rasanya tersekat. Gengsi: apa kata orang kalau tahu aku
berbuat hal ini? Pembenaran diri: selalu mencari dalih dan alasan, bahkan mencari kambing hitam untuk kesalahan yang telah dilakukannya.

Kisah klasik menceritakan tentang Kaisar Frederick Agung yang mengunjungi penjara Postdam. Ia berbicara dengan para napi dan masing-masing menyatakan
bahwa dirinya tidak bersalah dan menjadi korban dari sistem. Namun, satu orang tetap diam saja. Sampai akhirnya Frederick Agung bertanya, “Bagaimana dengan Anda? Siapa yang Anda persalahkan?” Jawabannya diluar dugaan, “Sayalah yang bersalah dan benar-benar patut dihukum. Kaisar pun membebaskannya!

Pengakuan dosa membuka pintu bagi pengampunan. Pembenaran diri menutup pintu bagi kasih karunia. Dalam hal ini, Tuhan pun akan bersikap seperti Kaisar
Frederick Agung. Membebaskan mereka yang mengaku bersalah. Hanya sayang, manusia itu memang sangat sulit untuk mengakui kelemahannya. Coba lihat Adam yang membenarkan dirinya sebaliknya menyalahkan Hawa. Hawa juga terlalu gengsi untuk mengakui dosa yang telah diperbuatnya dan memilih untuk menuding ular sebagai biang dari semuanya ini.

Bagaimana Tuhan bisa memulihkan keadaan kita, sementara kita menyangkalnya?
Bagaimana Tuhan bisa menyembuhkan kita, sementara kita berkata, “Aku sehat.”
Bagaimana Tuhan bisa berkomunikasi, sementara kita menyembunyikan rahasia?
Bagaimana Tuhan bisa memberikan pengampunan sedangkan kita tidak mengaku salah?
Remuk hati dan keberanian untuk mengaku salah, itulah yang membuka gerbang pengampunan bagi kita.

Mengaku dosa membuka pintu bagi pengampunan. Membenarkan diri menutup pintu bagi kasih karunia.
» Renungan ini diambil dari Renungan Harian Spirit

Senin, 07 Juni 2010

Masih Perlukah ke Gereja ?

Bacaan: Ibrani 10:19-39
Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita...- Ibrani

Apakah beribadah mesti harus pergi ke gereja? Kuno, ah. Bukankah ini jaman modern nan canggih? Mengapa tidak mencoba beribadah lewat internet? Ini membuat kita tidak perlu repot-repot ke gereja. Tidak perlu pusing soal bagaimana harus memarkir mobil di area yang terbatas. Tidak perlu takut kalau tidak kebagian tempat duduk. Lebih enak beribadah di rumah sendiri, bisa sambil menghabiskan camilan atau sambil meneguk aroma moccacino.

Beribadah di dunia maya (internet) ternyata menarik minat beberapa orang Kristen di Jerman, seperti halnya yang terjadi di Hamburg. Bahkan mereka tidak perlu membawa uang kolekte lagi, karena setiap anggota jemaat diberi kartu kredit khusus agar mereka tidak kesulitan memberikan kolekte. Lepas dari uniknya beribadah di depan komputer, muncul pertanyaan mendasar, “Masih perlukah kita pergi ke gereja untuk beribadah?”

Theodore Roosevelt, presiden AS, pernah berkomentar tentang hal ini, “Ya, saya tahu segala macam alasan itu. Saya tahu bahwa seseorang bias beribadah di rumahnya sendiri seperti di gereja. Tapi saya juga tahu bahwa sebenarnya rata-rata orang tersebut tidak bisa mencurahkan dirinya seperti itu. Dengan beribadah di gereja, kita akan melewatkan banyak kesempatan untuk menolong sesama dan itu berarti juga menolong dirinya sendiri.”

Alasan yang saya kemukakan tentang kontroversi tersebut adalah bahwa beribadah bukan hanya saja menyangkut hubungan vertikal antara kita dengan Tuhan, melainkan juga menyangkut hubungan horizontal antara kita dengan sesama. Itu sebabnya, tidak ada alasan yang bisa membenarkan bahwa orang Kristen tak perlu lagi pergi ke gereja! Terdengar terlalu kolot dan konvensional? Menurut saya tidak. Fakta membuktikan bahwa di dalam dunia yang nyata ini, sebuah komunitas yang tak bergereja, cenderung merupakan komunitas yang cepat merosot! Ibadah tidak hanya merupakan hubungan vertikal tapi juga horizontal. Tidak ada yang bisa membenarkan bahwa kita tidak perlu lagi ke gereja.(dikutip dari renungan harian spirit)

Ibadah adalah Memberi

Bacaan: Keluaran 20:22-26
Persembahkanlah di atasnya korban bakaranmu dan korban keselamatanmu...- Keluaran

Berbicara tentang ibadah, sejujurnya kebiasaan kita dalam beribadah sudah mengalami pergeseran makna yang sedemikian jauh. Bagi kita ibadah berarti
menerima sesuatu. Bisa dalam wujud menikmati ibadah yang dikemas dengan cara yang spektakuler, menerima tontonan. Lebih komplit kalau pengkhotbahnya sangat lucu dan bikin kita terpingkal-pingkal, menerima hiburan. Lalu bagaimana seandainya acara ibadahnya kurang bagus? Langsung aja kita protes dan merasa bahwa ibadah yang kita lakukan sia-sia.

Dalam ibadah kita lebih banyak pasif dan menjadi penonton. Satu-satunya hal yang membuat kita paling antusias dan menjadi bersungguh-sungguh adalah di bagian akhir ibadah ketika seorang pendeta mengangkat tangan untuk memberikan doa berkat. Mengapa? Lagi-lagi karena kita sedang menerima!

Bandingkan dengan cara bangsa Israel ketika beribadah dengan Tuhan. Konsepnya sungguh terbalik, ibadah berarti memberi bukan menerima. Ibadah adalah aktif, bukan pasif. Ibadah adalah mempersembahkan korban, bukan mencari keuntungan sendiri. Bangsa Israel diperintahkan membawa korban, entahkah itu berbentuk sapi, kambing, domba, merpati ataukah sesuatu yang lain. Dengan kata lain, mereka menghadap Tuhan tidak dengan tangan hampa.

Berbicara tentang bagaimana seni menyembah, maka kita harus mengawali lebih dulu dengan konsep ibadah yang benar, yaitu memberi dan bukan menerima, meski pada prakteknya Tuhan juga akan memberkati kita dalam ibadah. Tak hanya mengangkat tangan untuk menerima berkat, tapi juga mengangkat tangan untuk memberkati. Tak hanya menerima suguhan penampilan para pemuji yang extravaganza, melainkan kita juga terlibat di dalamnya untuk memberikan penyembahan kepada Tuhan. Belajar dari Maria yang memecahkan botol parfum sebagai bentuk penyembahan kepada Kristus. Itulah seni menyembah! Ibadah adalah memberi, bukan menerima. Ibadah adalah mempersembahkan korban, bukan mencari keuntungan.